Review Buku Ronggeng Dukuh Paruk - Ahmad Tohari (Pembantaian PKI di Desa Pekuncen)

Review Buku Ronggeng Dukuh Paruk - Ahmad Tohari (Pembantaian PKI di Desa Pekuncen)


Judul buku: Ronggeng Dukuh Paruk
Pengarang: Ahmad Tohari
Tebal: 408 halaman
Tanggal Terbit: September 2018
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Sinopsis Ronggeng Dukuh Paruk - Ahmad Tohari:


Semangat Dukuh Paruk kembali menggeliat sejak Srintil dinobatkan menjadi ronggeng baru, menggantikan ronggeng terakhir yang mati dua belas tahun yang lalu. Bagi pendukuhan yang kecil, miskin, terpencil, dan bersahaja itu, ronggeng adalah perlambang.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
Tanpanya, dukuh itu merasa kehilangan jati diri. Dengan segera Srintil menjadi tokoh yang amat terkenal dan digandrungi. Cantik dan menggoda. Semua ingin pernah bersama ronggeng itu. Dari kaula biasa hingga pejabat-pejabat desa maupun kabupaten.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
Namun malapetaka politik tahun 1965 membuat dukuh tersebut hancur, baik secara fisik maupun mental. Karena kebodohannya, mereka terbawa arus dan divonis sebagai manusia-manusia yang telah mengguncangkan negara ini. Pedukuhan itu dibakar. Ronggeng beserta para penabuh calungnya ditahan.
ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ
Hanya karena kecantikannyalah Srintil tidak diperlakukan semena-mena oleh para penguasa di penjara itu. Namun pengalaman pahit sebagai tahanan politik membuat Srintil sadar akan harkatnya sebagai manusia.

Ulasan Ronggeng Dukuh Paruk - Ahmad Tohari:


Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari ini pada masanya adalah novel paling sensitif. Awalnya novel ini terbit pada tahun 1982 sebagai trilogi: Catatan Buat Emak, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jantera Bianglala. Naskah tersebut sempat terbit secara tidak utuh pada masa Orde Baru dan kemudian baru diterbitkan ulang secara utuh setelah rezim itu tumbang (2002).

Novel ini bercerita tentang kehidupan seorang ronggeng asal Desa Dukuh Paruk bernama Srintil pada era 1965. Pada tahun-tahun sebelum pembantaian PKI terjadi, Desa Dukuh Paruk dihantam bencana kelaparan berkepanjangan sampai datangnya Partai Komunis Indonesia itu ke desa mereka dan membantu kesejahteraan warga di desa itu. Warga desa yang buta huruf diwajibkan untuk menandatangani persetujuan menjadi anggota partai tersebut. Yang kemudian hari menjadi bukti kuat bahwa seluruh warga di desa itu adalah anggota PKI dan harus dipenjarakan bahkan dibantai. Sedangkan Srintil yang merupakan seorang penari, sudah biasa diikutsertakan tampil dalam berbagai aktivitas PKI.

Isu sosial yang diangkat dalam novel ini ternyata merupakan sebuah kisah yang terinspirasi dari sebuah desa di Jatilawang yaitu Desa Pekuncen. Novel ini juga mengulas praktik pelacuran dengan alasan menjaga tradisi desa tersebut. Dalam novel ini Ahmad Tohari menyampaikan banyak kritik terselubung melalui karyanya. Ia menantang budaya eksploitasi perempuan, mengecam intrik politik yang mengorbankan masyarakat kecil, dan menyindir kebiasaan masyarakat yang selalu menyalahkan perempuan.

Tidak ada komentar: