Review Buku O - Eka Kurniawan (Seekor Monyet yang Ingin Menjadi Manusia)

Review Buku O - Eka Kurniawan (Seekor Monyet yang Ingin Menjadi Manusia)


Judul buku: O
Pengarang: Eka Kurniawan
Tebal: 496 halaman
Tahun Terbit: 2016
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Sinopsis O - Eka Kurniawan:


Seekor monyet bernama O mengenang kekasihnya yang pergi, Entang Kosasih, monyet urakan dengan mimpi setinggi langit dan tidak masuk akal. Entang Kosasih ingin jadi manusia, mengikuti Armo Gundul, monyet terdahulu yang konon kabarnya telah berubah menjadi manusia dan kisahnya diceritakan turun temurun oleh monyet-monyet yang ada di Rawa Kalong.

O dan Entang Kosasih kemudian terpisah dan O memutuskan untuk mencari kekasihnya dengan mengikuti grup topeng monyet. Betalumur adalah nama pawangnya. Di sebuah pasar, O melihat poster penyanyi yang terkenal sebagai Kaisar Dangdut dan merasa yakin bahwa itu adalah Entang Kosasih yang kini telah berubah menjadi manusia.

Ulasan O - Eka Kurniawan:


Novel O karya Eka Kurniawan ini merupakan semi fabel yang mengangkat isu sosial di sekitar kehidupan kita. Saya tidak pernah membayangkan sebelumnya bahwa saya bisa mengerti pikiran seekor monyet sebelumnya. Tidak hanya monyet tapi juga ada anjing, burung kakaktua, babi (ngepet). Dalam novel ini kita bahwa menjadi manusia itu sulit, dan apakah selama ini kita sudah menjadi manusia? Seperti pada halaman 49: "Menjadi manusia, kau harus berjalan seperti manusia. Menjadi manusia, kau harus duduk seperti manusia. Tertawa seperti mereka, menangis seperti mereka, menderita seperti mereka, bahagia seperti mereka."

Novel ini sangat padat dan punya banyak sekali cerita dan tokoh, bisa-bisa kalau tidak terlalu memperhatikan, kita bisa kehilangan rincian kisah yang terpotong-potong dan ditebar penulis di halaman acak lainnya. Maka butuh konsentrasi tinggi dalam membaca novel semi fabel ini. Tapi walaupun tebal dan terpotong-potong novel ini tidak membosankan. Banyak cerita menarik yang diangkat dari kisah kehidupan sehari-hari.

Seperti pada novel Eka Kurniawan pada umumnya novel ini juga bersifat satire seperti pada kalimat di halaman 42: “Seperti sering terjadi, pikirnya, polisi merupakan mahkluk terakhir yang bisa diharapkan di negeri ini.”. Juga seperti pada kisah seekor burung kakaktua yang selalu mengingatkan manusia untuk mendirikan shalat. Padahal ia sendiri sebenarnya cuma meniru omongan yang pernah diajarkan oleh seorang pemuka agama.

Penuh haru, tawa, dan sindiran novel ini sangat layak kamu baca. Banyak pesan yang tersirat dan tersurat di dalamnya seperti, "Percuma kau punya ladang atau sawah, cepat atau lambat negara akan merampasnya darimu. Juga rumah. Juga tanah. Bahkan negara bisa mengambil paksa suamimu kapan pun mereka mau." atau "...betapa hidup ini tak lebih dari satu lingkaran. Yang lahir akan mati. Yang terbit di timur akan tenggelam di barat, dan muncul lagi di timur. Yang sedih akan bahagia, dan yang bahagia suatu hari akan bertemu sesuatu yang sedih, sebelum kembali bahagia. Dunia itu berputar, semesta ini bulat. Seperti namamu, O."

Tidak ada komentar: