Review Buku Mata yang Enak Dipandang - Ahmad Tohari

Review Buku Mata yang Enak Dipandang - Ahmad Tohari



Judul Buku: Mata yang Enak Dipandang
Pengarang: Ahmad Tohari
Tebal: 216 halaman
Tanggal Terbit: Desember 2013
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Buku ini merupakan kumpulan lima belas cerita pendek Ahmad Tohari yang tersebar di sejumlah media cetak antara tahun 1983 dan 1997.

Seperti novel-novelnya, cerita-cerita pendeknya pun memiliki ciri khas. Ia selalu mengangkat kehidupan orang-orang kecil atau kalangan bawah dengan segala lika-likunya.

Ahmad Tohari sangat mengenal kehidupan mereka dengan baik. Oleh karena itu, ia dapat melukiskannya dengan simpati dan empati sehingga kisah-kisah itu memperkaya batin pembaca.

Ulasan Mata yang Enak Dipandang - Ahmad Tohari:

Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari ini merupakan kumpulan cerita pendek yang mengisahkan kehidupan manusia pinggiran. Dan Mata yang Enak Dipandang sendiri adalah salah satu dari lima belas judul cerita pendek pada buku ini.

Dari kelima belas cerita pendek dalam buku ini, saya paling suka pada cerita pendek yang berjudul Daruan. Daruan mengisahkan seorang pengarang novel asal desa yang hidupnya serba kekurangan. 

Hingga dengan bangganya pada suatu hari ketika novel pertama Daruan terbit, dia menjual cincin tiga gram sang istri untuk ongkosnya ke Jakarta demi menemui teman lamanya yang membantunya mencetak novel pertamanya itu. Tiba di Jakarta, ternyata novelnya belum ada yang laku terjual, karena kasihan, Muji temannya itu memberikan sedikit uang untuk Daruan. 

Sedikit uang pemberian Muji itupun sebenarnya hanya cukup untuk ongkos pulang Daruan dan ada sisa sedikit, bahkan tidak cukup untuk menebus kembali cincin sang istri.

Kisah berjalan semakin miris ketika Daruan akhirnya menghabiskan sisa uangnya untuk membeli novelnya sendiri yang dijual oleh pedagang asongan di kereta yang menjual bukunya dengan harga sangat murah, jauh di bawah pasaran toko buku. Seperti pada halaman 48: Pengasong itu berlalu meninggalkan entakan rasa perih di hati Daruan. Namun, entah mengapa, Daruan bangkit. Diikutinya si pengasong dari jarak tertentu. Diperhatikannya apakah ada penumpang yang berminat membeli novelnya. Tetapi sampai menyeberang lima gerbong, Daruan tidak menemukan pemandangan yang diharapkan. Dalam perjalanan pulang itu Daruan sungguh kehilangan dirinya sendiri.



Tidak ada komentar: