Review Buku The Good Earth (Bumi yang Subur) - Pearl S. Buck

Review Buku The Good Earth (Bumi yang Subur) - Pearl S. Buck

Judul buku: The Good Earth (Bumi yang Subur)
Pengarang: Pearl S. Buck
Alih Bahasa: Gyani Buditjahja
Tebal: 536 halaman; 18cm
Cetakan: 4, Agustus 2003
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Ringkasan The Good Earth (Bumi yang Subur) - Pearl S. Buck:


Kisah tentang keluarga Wang-keluarga petani Cina sederhana yang mendapat kemuliaan dari tanah yang diolahnya Wang Lung mencintai tanahnya lebih daripada keluarga dan dewa-dewanya. Dan... tanahnya itu membuat hidupnya makmur.

Wang Lung mempertahankan tanahnya dari bencana alam dan gerombolan bandit. Dan dia berhasil.

Wang Lung menanamkan akar sebuah dinasti yang berkuasa. Dinasti yang terdiri atas istri-istri, selir-selir, dan banyak anak-anak yang kelak mengkhianatinya.

Ulasan The Good Earth (Bumi yang Subur) - Pearl S. Buck:


Buku The Good Earth (Bumi yang Subur) ini ditulis oleh Pearl S. Buck pada tahun 1931, buku ini juga yang mengantarkannya pada penghargaan Pulitzer untuk novel pada tahun 1932. Novel ini cukup tebal dan memiliki alur cerita yang cukup panjang, namun tidak membuat saya lelah membacanya karna alurnya mudah untuk diikuti. 

Novel dengan genre Fiksi Sejarah ini saya beri rating ⭐️⭐️⭐️⭐️⭐️ di Goodreads. Sang pengarang, Pearl, memang seorang pengamat serta pecinta kebudayaan Tiongkok kala itu, maka novel ini mengangkat tema kehidupan sosial masyarakat di era beberapa saat sebelum Perang Dunia I meletus.

Tokoh utama pada novel ini adalah Wang, seorang anak petani miskin yang dengan usaha keras, kecerdikan serta keberuntungannya berhasil menjadi seorang saudagar kaya raya di kotanya. Tapi yang jadi sorotan saya adalah istrinya Wang, yaitu O Lan. O Lan adalah seorang istri lugu dan berbakti yang berkali-kali berhasil menyelamatkan keluarga itu dari kemiskinan. Di sini kita bisa melihat gambaran kehidupan perempuan Cina tradisional yang bukanlah suatu kehidupan yang mudah. 

O Lan sebagai istri sudah menjalankan dengan sempurna kewajibannya, memiliki sifat pendiam, lembut, sabar, sopan, rajin, rapi, pandai mengerjakan pekerjaan rumah tangga, terampil, menjadi istri yang hormat dan setia pada suaminya, berbuat baik pada saudara dan keluarga suaminya, sopan kepada teman-teman lelaki suaminya. Tetapi apa yang dia dapat? Sang suami memang masih setia ketika keluarga mereka masih miskin, namun ketika keluarga mereka akhirnya kaya raya, sang suami mencari istri baru, membangun rumah di belakang rumahnya, rumah yang megah dan indah untuk istri barunya itu. O Lan, hanya bisa menangis dan pasrah, menyesali kakinya yang tidak ia ikat ketika kecil. Mengikat kaki adalah suatu tradisi Cina di mana masyarakat ketika itu beranggapan wanita cantik adalah yang berkaki kecil. Sehingga O Lan selalu mengikat kaki anak perempuannya agar kelak tidak bernasib sama dengannya, sedangkan kaki O Lan tidak sempat diikat ketika kecil karna waktu kecil dia telah dijual sebagai budak di rumah seorang tuan tanah kaya. Memang tidak tahu diuntung laki-laki seperti itu.

Oh iya kalau bicara soal Wang, ada ucapannya yang saya garis bawahi di sini, “Sebuah keluarga akan habis riwayatnya—kalau mereka sudah mulai menjual tanah-tanahya, kita berasal dari tanah dan kita mesti kembali lagi ke situ—dan kalau kalian masih mau mempertahankan tanah itu, kalian bisa hidup terus—tak ada orang yang bisa merampas tanah begitu saja”. 

Ini adalah kepercayaan mereka, semacam pamali begitu, tapi kalau dilihat hal ini juga kerap kali terjadi di sekitar kehidupan saya. Seperti tuan-tuan tanah di tempat tinggal saya yang menjual tanahnya kepada para kontraktor, yang menjadikannya puluhan bahkan ratusan rumah berjejer dengan bentuk serupa atau pusat perbelanjaan besar yang tidak pernah sepi (walaupun pandemi, eh). Lalu tuan tanah itu kelak anak cucunya bersusah payah membayar tagihan sepetak rumah yang berdiri di atas tanah leluhurnya itu. Miriskan? Yah tapi itulah yang terjadi.

4 komentar: